DEMOKRASI
![]() |
Pengertian & Sejarah Demokrasi Demokrasi, secara etimologi, diambil dari dua istilah dalam bahasa Yunani, yaitu demos yang
berarti masyarakat atau penduduk di suatu wilayah, dan cratein atau kratos yang merujuk pada
kekuasaan atau otoritas. Penggabungan keduanya menghasilkan demos-cratos atau demos-cratein,
yang secara langsung dapat diartikan sebagai kekuasaan yang dimiliki oleh rakyat. Dengan begitu,
demokrasi dapat dijelaskan sebagai sistem pemerintahan yang berasal dari rakyat, dikelola oleh
rakyat, dan untuk kepentingan rakyat (Ubaedillah, 2008: 36). Dalam bahasa Inggris, ini sering
diungkapkan dengan istilah the government of the people, by the people, and for the people. Dalam hal ini, rakyat memiliki otoritas tertinggi dalam sistem pemerintahan demokratis.
Ada dua jenis utama demokrasi, yaitu demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung.
Demokrasi langsung (direct democracy) adalah bentuk di mana rakyat terlibat langsung dalam
pengambilan keputusan, seperti yang berlangsung dalam pemilu atau musyawarah masyarakat. Di
sisi lain, dalam demokrasi tidak langsung, rakyat memilih wakil untuk mewakili mereka dan
mengambil keputusan atas nama mereka di badan legislatif. Berbagai pemikir telah memberikan pandangan mengenai demokrasi. Abraham Lincoln
menyatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Charles Costello menambahkan bahwa demokrasi merupakan sistem sosial dan politik di mana
kekuasaan dibatasi oleh hukum dan tradisi untuk melindungi hak individu. Sementara itu, Ahmad
Syafi’i Maarif berpendapat bahwa demokrasi bukanlah sesuatu yang dapat dibangun dengan cepat,
tetapi adalah proses bertahap yang melibatkan peran masyarakat dan negara dalam menciptakan
budaya kehidupan yang adil dan makmur, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik
(Ubaedillah, 2008: 12). Tanpa adanya budaya demokrasi yang kuat, proses peralihan menuju
demokrasi sangat rentan terhadap berbagai bentuk penyimpangan, seperti politik uang, kekerasan,
atau penggunaan isu-isu primordial dalam politik. Secara historis, demokrasi berakar dari peradaban Yunani kuno, khususnya di Athena pada abad
ke-5 SM, dimana pria dewasa yang bersifat warga negara dapat terlibat aktif dalam pemerintahan.
Namun, sistem ini bersifat tertutup karena tidak menyertakan perempuan, budak, dan mereka yang
bukan warga negara. Konsep demokrasi itu sendiri berkembang seiring dengan pemikiran para
filsuf seperti Aristoteles dan semakin dikuatkan pada masa Pencerahan di Eropa. Dua peristiwa
yang sangat penting dalam sejarah demokrasi modern adalah Revolusi Amerika pada tahun 1776
dan Revolusi Prancis pada tahun 1789, yang memperkenalkan gagasan tentang kebebasan,
kesetaraan, dan kekuasaan rakyat sebagai reaksi terhadap sistem monarki absolut. Perkembangan demokrasi semakin maju pada abad ke-19 dan 20, terlihat dari munculnya sistem
representatif, perluasan hak suara, dan terbentuknya institusi seperti parlemen. Demokrasi kini
dipahami sebagai sistem pemerintahan yang menjamin partisipasi masyarakat melalui pemilihan
umum yang adil, perlindungan bagi kelompok minoritas, serta kebebasan individu. Meski
demikian, demokrasi terus menghadapi berbagai tantangan, seperti dominasi oleh elit, konflik ideologis, serta masalah lingkungan yang melahirkan istilah baru seperti ecocracy atau kedaulatan
lingkungan. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, banyak negara yang baru merdeka mulai menerapkan sistem
demokrasi, meskipun tingkat keberhasilannya bervariasi. Di Indonesia, perjalanan demokrasi telah
melalui beberapa tahap: demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila di
masa Orde Baru, dan demokrasi pasca reformasi setelah tahun 1998. Setiap fase memiliki
tantangan dan dinamika sendiri, tetapi secara keseluruhan, demokrasi tetap dianggap sebagai
sistem pemerintahan yang ideal karena mendukung kebebasan, keadilan, dan partisipasi
masyarakat. Namun, demokrasi perlu didukung oleh kesadaran politik, budaya demokratis, dan
tanggung jawab kolektif agar tidak terdegradasi oleh praktik-praktik yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip dasarnya. Nasution, A. R. (2016). Urgensi pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan karakter
bangsa Indonesia melalui demokrasi, HAM dan masyarakat madani. Jurnal Pendidikan Ilmu-
Ilmu Sosial, 8(2), 201–212. Supardan, D. (2015). Sejarah dan prospek demokrasi. Sosio Didaktika: Social Science Education
Journal, 2(2), 125–135. https://doi.org/10.15408/sd.v2i2.2811 Prinsip – Prinsip Demokrasi Bagi suatu bangsa yang menganut sistem demokrasi, terdapat beberapa asas yang seharusnya
diterapkan secara efektif sesuai dengan gagasan dasar-dasar demokrasi. Asas-asas tersebut bisa
dijadikan panduan atau referensi dalam pelaksanaannya di kehidupan sehari-hari. Ini sejalan
dengan pemikiran yang diungkapkan oleh Sukarna (1979: 40-42) yang diuraikan berikut:
Kedua puluh prinsip ini seharusnya saling terkait dengan baik untuk membentuk citra
demokrasi yang ideal. Dengan penerapan prinsip-prinsip demokrasi berdasarkan panduan yang
telah disebutkan, akan tercipta suatu sistem pemerintahan yang menjamin serta mengutamakan
kepentingan masyarakat dalam setiap kebijakan yang diambil. Dedi, A. (2021). Implementasi prinsip-prinsip demokrasi di Indonesia. Jurnal Moderat, 7(1), 1–
9. https://ojs.unigal.ac.id/index.php/modrat Tujuan dan Peran Demokrasi Di balik istilah “demokrasi” yang sering kita dengar, sebenarnya ada satu tujuan utama yang menjadi
landasan utamanya: mewujudkan kedaulatan rakyat. "Democracy is the government of the people, by
the people, for the people." — Abraham Lincoln. Artinya, kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara
seharusnya berada di tangan rakyat. Rakyat bukan sekadar penonton, melainkan aktor utama dalam
menentukan arah dan kebijakan negara. Namun dalam prosesnya seringkali kita menjumpai bahwa
suara rakyat lebih sering terdengar saat kampanye daripada setelahnya. Rasanya kutipan Abraham
Lincoln mengenai demokrasi kurang realistis di negeri konoha, karena pada praktiknya of the elite,
by the elite, for the elite terasa lebih realistis. Berikut ini tujuan dan peran demokrasi yang
diharapkan dapat terwujud dengan sebenar-benarnya. 1. Mendorong Partisipasi Politik
Secara teori, demokrasi mendorong warga untuk aktif menyuarakan pendapat, memilih
pemimpin, dan terlibat dalam proses politik. Namun, realitanya, partisipasi kadang dijadikan
sekadar formalitas lima tahunan. Di luar itu, aspirasi publik kerap terjebak dalam tumpukan
laporan yang tak dibaca. 2. Menjaga Hak-Hak Dasar Warga Negara
Demokrasi menjamin kebebasan berpendapat. Tapi di beberapa tempat, menyuarakan
kebenaran bisa berujung panggilan polisi. Kebebasan bicara itu ada, asal tidak terlalu keras
dan tidak mengganggu kenyamanan pihak berwenang. Yang berbeda pendapat malah dicap
“tidak nasionalis”, padahal cinta negara tak harus satu suara. "Freedom is not worth having if
it does not include the freedom to make mistakes." — Mahatma Gandhi. 3. Mencegah Penyalahgunaan Kekuasaan
Dalam negara demokratis, kekuasaan tidak boleh terkonsentrasi pada satu tangan. Ada sistem
pembagian kekuasaan—antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif—yang saling mengawasi
dan menyeimbangkan. Pemisahan kekuasaan berjalan, tapi kadang hanya di buku pendidikan
kewarganegaraan. Ini penting agar tak ada satu pihak yang bisa bertindak semaunya tanpa
kontrol. Namun kadang, lembaga-lembaga pengawas justru sibuk menjaga citra, bukan
kebenaran. Demokrasi tanpa transparansi hanya menyisakan ilusi kendali. 4. Mewujudkan Keadilan dan Kesetaraan
"Injustice anywhere is a threat to justice everywhere."— Martin Luther King Jr. Demokrasi
juga berperan dalam menciptakan masyarakat yang adil dan setara. Dalam demokrasi yang
sehat, semua orang memiliki kesempatan yang sama, tak peduli latar belakang ekonomi,
suku, agama, atau jenis kelamin. Kesetaraan ini menjadi fondasi penting untuk menciptakan
kehidupan bersama yang harmonis. Namun kesetaraan di atas kertas tak cukup jika di
lapangan masih ada kasta tak resmi dalam pelayanan publik. Semua warga negara seharusnya
mendapat perlakuan yang adil dan setara. Namun realitas menunjukkan bahwa akses ke
keadilan sering kali bergantung pada siapa yang kita kenal atau seberapa dalam isi dompet.
Demokrasi tanpa keadilan hanya jadi label kosong. 5. Meningkatkan Kesadaran dan Pendidikan Politik
Demokrasi mendidik kita untuk menjadi warga negara yang sadar—bukan hanya tahu hak
haknya, tapi juga tanggung jawabnya. Dengan memahami sistem dan proses politik, kita bisa
lebih kritis terhadap kebijakan, lebih aktif mengawasi pemerintah, dan tidak mudah
dimanipulasi. Tapi bagaimana bisa kritis, jika pendidikan politik hanya diberikan menjelang
pemilu? Dan bagaimana bisa melek politik, jika suara rasional sering dikalahkan oleh politik
identitas dan pencitraan? Maka dari itu kunci dari demokrasi yang sehat adalah warga negara
yang sadar politik. 6. Menjaga Stabilitas Sosial dan Politik
Ketika semua suara bisa didengar dan disalurkan secara damai, potensi konflik bisa ditekan.
“Dalam demokrasi yang sehat, keberadaan oposisi bukanlah ancaman, melainkan bagian
penting yang menjaga agar kekuasaan tidak absolut dan pemerintahan tetap transparan serta
akuntabel.” —Anies Baswedan. Demokrasi memberi kita saluran untuk berbicara,
berdiskusi, bahkan berbeda pendapat—tanpa harus saling bermusuhan. Namun demokrasi
yang seharusnya memberi ruang pada perbedaan justru sering dijadikan bahan propaganda
untuk menciptakan polarisasi. Seolah-olah, berbeda pilihan politik adalah alasan cukup untuk
memutus pertemanan. Penerapan Demokrasi di Indonesia Demokrasi di Indonesia memang sudah berjalan sejak lama, tapi penerapannya seringkali jadi bahan
perbincangan. Ada semangat tinggi untuk mewujudkan sistem yang adil dan bebas, tapi tak jarang
kenyataan di lapangan mengundang tawa getir sekaligus renungan serius. 1. Pemilu yang Bebas dan Adil
Pemilihan umum adalah pilar utama demokrasi di Indonesia. "Elections belong to the people.
It's their decision." — Abraham Lincoln. Melalui pemilu, rakyat diberikan kesempatan
memilih pemimpin yang dipercaya untuk menjalankan pemerintahan. Pemilu langsung dan
periodik menjadi bentuk nyata kedaulatan rakyat. Namun, realitasnya kadang pemilu terasa
seperti lomba pencitraan dan politik uang, bukan soal visi dan misi. Meski begitu, semangat
memilih tetap menjadi ritual penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 2. Kebebasan berpendapat dan kebebasan pers menjadi fondasi kuat dalam demokrasi
Indonesia. Media dan masyarakat memiliki ruang untuk menyuarakan pendapat dan kritik
secara terbuka. Indonesia mengakui kebebasan pers dan berpendapat, tapi dalam praktiknya,
suara-suara kritis terkadang dianggap “berisik” dan harus “ditenangkan” dengan berbagai
cara. Jurnalis dan aktivis seringkali berhadapan dengan tekanan dan sensor terselubung yang
membuat demokrasi terasa seperti panggung sandiwara. Masyarakat harus terus
memperjuangkan ruang kebebasan yang sehat dan konstruktif. 3. Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Indonesia menerapkan otonomi daerah sebagai bentuk nyata demokrasi yang membawa
pemerintahan lebih dekat ke rakyat. Pemerintah daerah diberi ruang untuk mengelola urusan
lokal sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat. "Untuk membangun negara yang
demokratis, satu ekonomi yang merdeka harus dibangun." — Soekarno. Desentralisasi ini
diharapkan memperkuat partisipasi rakyat dan mempercepat pembangunan daerah. Namun,
cukup sering kita menjumpai otonomi justru menjadi celah bagi korupsi dan nepotisme. Kita
berharap otonomi bisa jadi alat pemberdayaan, bukan justru menambah jurang ketimpangan. 4. Partisipasi Masyarakat Sipil
Masyarakat sipil berperan sebagai pengawas dan pengawal demokrasi. Mereka membantu
memastikan pemerintah tetap transparan dan akuntabel serta mewakili aspirasi rakyat yang
sering kali sulit tersalurkan melalui jalur resmi. Peran aktif masyarakat sipil memperkuat
demokrasi agar tidak menjadi monopoli kekuasaan semata. "Para pemimpin politik tidak
boleh lupa mereka berasal dari rakyat." — Soekarno. Namun seringkali kita temui para
pemimpin yang lupa akan hal itu dan menganggap partisipasi rakyat sebegai hiasan
demokrasi, bukan kekuatan nyata. Tantangan Demokrasi di Indonesia Demokrasi di Indonesia memang terus berkembang, tapi jalannya tidak selalu mulus. Berbagai
tantangan muncul, kadang membuat kita bertanya-tanya apakah demokrasi yang kita banggakan
sudah berjalan sesuai harapan atau justru hanya menjadi formalitas semata. 1. Politik Uang dan Korupsi
Salah satu tantangan terbesar adalah praktik politik uang yang masih marak. Di beberapa
daerah, pemilu terasa seperti pasar, di mana suara dibeli dengan harga tertentu. Korupsi pun
menjadi kanker yang merusak kepercayaan rakyat terhadap demokrasi. Saya nyatakan di sini
bahwa korupsi merupakan musuh terbesar demokrasi. Dan terkadang musuh ini memakai jas
demokrasi dan berdasi legislatif. 2. Polarisasi dan Konflik Politik
Demokrasi memberi ruang pada perbedaan, tapi perbedaan itu kadang berubah jadi jurang
pemisah yang dalam. Polarisasi politik yang tajam bisa memecah masyarakat, bahkan sampai
mengancam persatuan dan stabilitas. Padahal demokrasi itu tentang bagaimana kita dapat
hidup berdampingan meski berbeda, namun seringkali hidup berdampingan terasa mustahil
ketika perbedaan terasa tajam. 3. Pendidikan Politik yang Masih Kurang
"Democracy cannot succeed unless those who express their choice are prepared to choose
wisely." — Franklin D. Roosevelt. Pemahaman masyarakat terhadap demokrasi dan politik
masih terbatas. Pendidikan politik sering kali hanya muncul saat pemilu, dan tidak
berkelanjutan. Akibatnya, banyak warga yang mudah terombang-ambing oleh informasi yang
salah dan janji kosong. 4. Kebebasan Berpendapat yang Terbatas
Kebebasan berpendapat memang dijamin, tapi di beberapa kasus, kritik yang tajam bisa
berujung pada intimidasi, bahkan kriminalisasi. Ini membuat masyarakat menjadi takut untuk
menyuarakan pendapatnya secara bebas. Kebebasan adalah hak, bukan hadiah yang untuk
mendapatkannya kita perlu memohon dan berteriak. 5. Peran Media dan Disinformasi
Media memiliki peran penting dalam demokrasi, tapi maraknya disinformasi dan berita palsu
(hoaks) justru memperkeruh suasana. Media sosial yang seharusnya jadi ruang dialog malah
jadi medan pertempuran opini yang sering tak berujung. 6. Tantangan Oposisi dan Kontrol Pemerintahan
"Keberadaan oposisi bukan ancaman, melainkan bagian penting demokrasi." — Anies
Baswedan. Oposisi sebagai pengawas pemerintah sering menghadapi hambatan. Dari
tekanan politik hingga stigma negatif, keberadaan oposisi tidak selalu diterima dengan lapang
dada. Oposisi sering terasa seperti pemain di pinggir lapangan yang suaranya tak terdengar.
Padahal, oposisi yang kuat adalah penyeimbang yang membuat demokrasi tetap sehat. SUMBER:
Dikutip dari berbagai arsip pidato dan tulisan Lincoln, terutama yang dikutip dalam "The Words
Lincoln Lived By". Pidato Franklin D. Roosevelt, 1938, dikutip dalam The Public Papers and Addresses of Franklin D.
Roosevelt. Adaptasi dari kutipan Mandela, “I have cherished the ideal of a democratic and free society...” –
Nelson Mandela, 1964 Rivonia Trial Speech. Dikutip dari pidato-pidato Soekarno tentang ekonomi dan demokrasi, khususnya dalam Indonesia
Menggugat dan pidato kemerdekaan awal. Gagasan umum dari ajaran-ajaran Bung Karno yang banyak dimuat dalam Di Bawah Bendera
Revolusi. Pernyataan Anies Baswedan dalam berbagai wawancara dan pidato, terutama saat Pilpres dan pasca
pemilu 2019–2024 (ditemui dalam media seperti Kompas, Tempo, Narasi.tv). https://www.liputan6.com/feeds/read/5904364/tujuan-dari-demokrasi-memahami-esensi-dan-manfaatnya-bagi-masyarakat?page=3 https://guruppkn.com/manfaat-kehidupan-demokrasi-dalam-kehidupan-bermasyarakat |